BOGOR-Bukit Hambalang, nama yang cukup familiar ditelinga saya. 35 tahun silam, saya dilahirkan di salah satu desa yang terletak dikaki bukit tersebut. Namanya Desa Tarikolot, masuk wilayah Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor. Jaraknya sekitar 2-3 Km dari Bukit Hambalang.
Saat
ini, saya berdomisili di Provinsi Lampung. Medio tahun 2011 pindah ke
Provinsi Beranda Sumatera tersebut untuk menempati pos baru disebuah
program pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, dalam rangka berkumpul
dengan keluarga besar dari pihak istri yang kebetulan berasal dari
Sumatera.
Liburan
akhir tahun 2012, saya sudah berniat untuk pulang kampung, bersamaan
dengan berakhirnya kontrak kerja di Provinsi Lampung. Tapi sebenarnya
ada "magnet" khusus sehingga saya berkeinginan berlibur di Bogor.
Apa "magnet" khusus itu?
Iya,
Bukit Hambalang, nama yang cukup familiar ditelinga masyarakat
Indonesia, menjadi "magnet" terbesar saya untuk pulang liburan akhir
tahun.
Di Bukit Hambalang terdapat satu desa dengan nama yang sama yaitu Desa Hambalang. Masih teringat dalam memori saya, Alm. Aki (Kakek dalam bahasa Sunda)
sering mengajak saya dengan mobil bak terbuka jenis Toyota Hiace,
menyusuri jalan-jalan di Desa Hambalang.
Kebetulan di Desa Hambalang ada
rumah Bibi yang merupakan adik Alm. Ibu yang kedua.
Tahun 80-an Hambalang masih sangat asri, udara yang sejuk, pepohonan yang masih rimbun dan penduduk yang belum terlalu padat.
Ikon
Hambalang waktu itu adalah PT. Cipendawa, peternakan ayam terbesar di
Indonesia milik salah satu Konglomerat era Orde Baru. Selain itu
terbentang perkebunan yang amat luas yang ditanami pohon cengkeh, pala, kelapa dan karet yang dimiliki oleh konglomerat yang sama.
Dua ikon tadi
bisa dlihat dengan bebas oleh masyarakat umum dengan izin. Namun ada
satu tempat yang tidak bisa dimasuki oleh sembarangan orang, kami
menyebutnya Villa Ibu Tien Soeharto. Iya, Villa tersebut adalah tempat
peristirahatan keluarga besar Cendana waktu itu.
Kembali
kepada niat saya pulang ke Bogor. Akhirnya pada Jum'at malam, 28
Desember 2012 saya berangkat sendiri pulang ke Bogor tanpa ditemani anak
dan Istri. Mungkin banyak yang bertanya, liburan kok tidak bawa
keluarga?
Iya,
saya pulang ke Bogor tidak semata-mata untuk liburan. Saya ingin
melakukan penggalian data tentang kasus Hambalang yang selama ini
mungkin luput di ekspose oleh media mainstream.
Loh,
ngapain jauh-jauh dari Lampung, liburannya di isi dengan cari data?
Mungkin itu pertanyaan yang akan disampaikan keluarga disana.
Obsevasi yang saya laksanakan dalam rangka melengkapi tulisan tentang Hambalang, sebagai bagian dari Citizen Reporter (Pewarta Warga).
Apakah ada untungnya secara materi sebagai Pewarta Warga? tentu saja
tidak ada. Menulis adalah hobi saya. Terinspirasi buku Kang Pepih
Nugraha (Wartawan Kompas dan pendiri Kompasiana.com) yang berjudul Citizen Journalism-Pandangan, Pemahaman dan Pengalaman.
Menurut Kang Pepih dalam bukunya, Citizen Journalism tidak dimaksudkan
menjadikan warga biasa menjadi Wartawan profesional yang dibayar oleh
perusahaan media, semata-mata hadir untuk menyebarkan semangat berbagi
(share) informasi sesuai minat dan bidang masing-masing orang. Dengan
berbagi informasi, terjadi pertukaran pengetahuan dan pengalaman warga
biasa yang tidak terbatas wilayah, ruang bahkan waktu.
Berdasarkan pemahaman dari buku tersebut, akhirnya saya memposisikan diri sebagai Pewarta Warga (Citizen Reporter) bukan Jurnalis (Wartawan) ataupun Citizen Journalism itu sendiri. Dari semangat berbagi itulah (sharism istilah Kang Pepih), saya ingin menulis tentang Hambalang dari dulu sampai sekarang.
Apa
yang membuat saya tertarik menulis tentang Hambalang?
Iya, dibalik
eksotisme Hambalang sejak dahulu kala, sebenarnya tersimpan masalah yang
belum terselesaikan hingga sekarang. Apa itu? nanti saya akan bahas
ditulisan selanjutnya.
Tiba Di Citeureup Bogor
Setelah
9 jam perjalanan darat dan diselingi menyeberang Selat Sunda dengan kapal feri, akhirnya pada pukul 06.00 tanggal 29 Desember 2012 sampai di
kampung halaman di Citeureup.
Tiba di rumah orang tua langsung sholat
Shubuh yang kesiangan. Selanjutnya adalah Tidur! Iya, karena selama
perjalanan dengan bis tidak bisa tidur sama sekali.
Pukul
11.00 saya bangun, kemudian ngobrol-ngobrol dengan keluarga dirumah.
Memang sangat bahagia kalau bisa berkumpul kembali dengan keluarga,
walaupun dirumah tersebut sudah tidak ada lagi ibunda tercinta, iya
beliau sudah berpulang sejak tahun 1999.
Yang tinggal dirumah hanya adik
kandung perempuan dan bapak yang sudah berkeluarga kembali.
Langsung
saya ceritakan kepada orang tua keinginan untuk mengunjungi Desa
Hambalang, sekaligus silaturahmi dengan keluarga yang tinggal disana.
Akhirnya jam 13.00 ditemani oleh adik laki-laki saya meluncur ke Desa
Hambalang dengan menggunakan motor.
Untuk
menuju Desa Hambalang hanya membutuhkan waktu 30 menit. Cukup singkat,
karena jalan kesana sudah cukup bagus. Jalan dihotmix mulus dan sebagian
sudah beton. Berbeda dengan era 80-an atau 90-an, jalanan menuju Desa
Hambalang cukup berat.
Sepanjang perjalanan, saya cukup menikmati
pemandangan indah yang tersisa, termasuk perkebunan PT Buana Estate,
milik salah salah satu konglomerat ternama era orde baru.
Hambalang
sekarang berbeda dengan Hambalang yang dulu, infrastrukturnya jauh
lebih baik. Banyak bangunan baru yang modern dan megah. Mungkin villa-villa milik orang kaya Jakarta.
Di Hambalang juga banyak berdiri
fasilitas milik Pemerintah, seperti fasilitas gedung Tagana Training Center (Pusat Pendidikan Taruna Siaga Bencana) dibawah Kementrian Sosial. Kemudian ada juga bangunan yang belum selesai, yakni Komplek Pusat Pelatihan Pasukan Perdamaian Tentara Nasional Indonesia (PPMT).
Lokasi utama komplek PPMT terletak di Desa Tangkil, tidak jauh dari
Desa Hambalang, namun perluasan komplek PPMT masuk wilayah Desa
Hambalang.
Selanjutnya
ada satu gedung lagi yang belum selesai. Gedung ini menjadi sorotan
seluruh rakyat Indonesia dan dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), yaitu komplek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional.
Setelah
puas keliling Desa Hambalang sambil mengambil dokumentasi melalui
kamera ponsel, saya dan adik rehat Sejenak di puncak tertinggi Bukit
Hambalang.
Dari
atas puncak bukit terdapat pemandangan yang sangat Indah. Mata saya
bisa menyapu semua wilayah Kabupaten Bogor bagian utara serta wilayah
Jakarta. Terlihat dengan jelas gedung-gedung tinggi Kota Jakarta.
Kemudian
pandangan saya alihkan ke kampung halaman Sendiri, yakni Desa Tarikolot
dan sebagian wilayah Kecamatan Citeureup. Tampak wilayah dengan
pemukiman yang sangat padat. Disamping itu kita bisa melihat bangunan
Pabrik-Pabrik besar seperti PT. Indocement, PT. Holcim, Komplek Industri
Sentul, Karang Asem Timur, Cibinong sampai Cileungsi.
Pandangan kemudian saya alihkan ke sebelah barat Bukit Hambalang, tampak bukit karst
yang sudah gundul berwarna putih, tempat penambangan bahan baku semen
untuk PT. Indocement. Bahan baku semen dikirim menggunakan rangkaian
panjang conveyor belt yang membentang dari Desa Hambalang ke pabrik Indocement yang terletak di Desa Citeureup. Jaraknya sekitar 10-15 Km.
Dalam
hati saya berpikir, kenapa wilayah yang dulunya sangat indah sekarang
secara ekologis sudah sangat rusak. Cuacanya sudah sangat panas. Iya,
kerakusan dan ketamakan manusia yang merusak alam itu sendiri.
Atas nama
pembangunan Industri dan sarana Pemerintah, kelestarian lingkungan
sangat diabaikan. Tidak dapat disangkal lagi ada kerusakan lingkungan di
bukit Hambalang dan sekitarnya.
Tidak heran terjadi kerusakan, karena Hambalang salah satu bukit yang terletak tidak jauh dari Gunung
Gede Pangrago, kawasan Puncak dan Kota Bogor, masih dalam kawasan
konservasi Bopuncur (Bogor Puncak Cianjur), yang secara ekologis sudah
mengalami kerusakan akibat ekspansi pemukiman baru, tempat wisata,
pembangunan hotel, villa dan fasilitas lainnya.
Jangan salahkan Bogor jika pada saat musim hujan,
Jakarta Kebanjiran! karena yang merusak ekologi di Bogor, sebagian besar
ada kontribusi orang kaya Jakarta.
Ah,
tidak ada lagi yang bisa dipandang dari tanah kelahiran, hanya wilayah
dengan kepadatan penduduknya serta kompleks-komplek Industri yang
semakin mendesak ketersediaan lahan.
Citeureup-ku sayang, Citeureup-ku malang. (Bersambung).
Penulis : Muhammad Ridwan
0 Komentar