Mediawarga.info - Perempuan itu mengaku asli Jawa, wajar jika berbahasa Jawa. Namun
karena bertahun-tahun berjibaku membangun bisnis di pantai Pangandaran,
ia juga luwes berbahasa Sunda. Apa boleh buat, lantaran puluhan tahun
melayani pelanggannya di manca negara, dan ia sering terbang ke sana
dengan pesawatnya sendiri (ya, pesawatnya sendiri), ia pun bercakap
bahasa Inggris seolah berlidah bule. Rasanya nyaris mustahil hal itu
terjadi jika kita tahu masa lalunya, karena ia “cuma” lulusan SMP dan
“hanya” bakul ikan laut. Wanita berkulit gelap eksotis itu bernama Susi
Pudjiastuti.
Barangkali, April ini kebanyakan perempuan Indonesia mengingat
Kartini, para pahlawan perempuan lain, serta perempuan perkasa lain yang
ditulis media menjelang Hari Kartini. Namun, yang terbayang di benak
saya saat ini justru seorang perempuan yang lolos dari pantauan media.
Saya justru ingat Susi Pujiastuti — seorang perempuan pebisnis, yang
membangun bisnisnya dari nol, sehingga menjadi perusahaan pengekspor
hasil laut segar (lobster, tuna, udang, kakap) kelas kakap di Indonesia
dengan nilai ekspor puluhan juta USD. Maka untuk menuntaskan rasa ingin
tahu mengenai sosoknya, tim Niriah.com — portal ekonomi bisnis syariah yang kami bangun tahun lalu — berusaha mewawancarainya.
Tak mudah mendapatkan waktu wawancara karena ia terbang ke sana ke
mari. Ketika ia ada waktu, sekretarisnya mengirim sms, bahwa kami akan
diterima di Pangandaran. Kami dipersilahkan ke bandara Halim, Jakarta
dan akan dijemput dengan pesawat Cessna menuju Pangandaran. Maka
terbanglah Mumu, editor Niriah.com, dengan salah satu pesawat Susi Air —
maskapai pesawat carter yang dibangun Susi — menuju pantai Selatan.
Hasil pengamatan dan wawancaranya bisa dinikmati di Niriah.com: Susi Pudjiastuti: Sukses Berbisnis Lewat Jalur Alami.
Saya menulis di sini hanya untuk memberi catatan tambahan saja.
Pertama, ia seorang yang sukses karena gigih melewati proses.
Berbekal Rp 750 ribu hasil menjual gelang, kalung, dan cincin
miliknya, Susi mulai jadi pengepul ikan pada 1983. Waktu itu ia baru
sanggup membeli 1 kg, besoknya 2 kg, lusa 5 kg. Begitu seterusnya. Dalam
tempo setahun, ia berhasil memasuki pasar Cilacap.
Makin maju usahanya, Susi lalu mulai menyewakan perahu untuk nelayan
mencari ikan dan mobil untuk pengiriman. Kini ia punya ratusan perahu
dan puluhan truk. Ia pun kemudian menjadi penyalur tetap hasil laut ke
beberapa pabrik besar di Jakarta. Tiap hari, pukul 15.00, ia ke Jakarta
untuk setor. Di tengah jalan, ia mampir ke Cikampek untuk mengambil
kodok. Sampai di Jakarta malam. Setelah mandi dan istirahat ia langsung
balik ke Pangandaran. “Begitu tiap hari,” tutur perempuan bersuara berat
ini seperti dikutip Jawa Pos.
Ia terus berproses untuk maju.
Dari pengepul dan memasok pabrik dan restoran, ia kemudian meningkatkan diri menjadi produsen dan pengekspor hasil laut.
Kedua, dia selalu berusaha memberi nilai tambah.
Ia tahu, semakin segar ikan yang diekspornya, semakin tinggi pula
harganya. Harga ikan dan udang yang fresh sampai ke Jepang kurang dari
24 jam, bisa dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang
biasanya US$ 3/kg, maka kalau tiba kurang dari sehari semalam, harganya
bisa menjadi US$ 8/kg. Itu sebabnya ia tak segan-segan membeli pesawat
terbang Cessna agar ikan atau udang yang diekspor bisa tiba kurang dari
24 jam.
Ia juga tahu, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin
banyak diburu penggemarnya. Maka ia pun membuat pabrik pengolahan ikan
tanpa bahan kimia. Pendinginnya pun ramah lingkungan karena menggunakan
amoniak, bukan freon yang merusak ozon.
Ia juga paham, meski karyawannya bergelut dengan ikan setiap hari,
mereka membutuhkan tempat kerja yang nyaman. Maka pabrik ikannya pun
dibangun mirip mal — penuh dengan keramik dan kaca — meski untuk itu ia
harus menggelontorkan biaya investasi yang lebih mahal.
Ketiga, ia mengamalkan ilmu ekonomi bisnis.
Jangan tanya teori kepadanya. Ia akan menggeleng. Ia memang tak
dibekali ilmu akademis. Sekolah SMA saja DO. Jadi ketika ditanya apa
resep suksesnya, ia tak mampu menjawab. Tapi coba perhatikan apa katanya
kepada Niriah.com: “Menurut saya ilmu ekonomi itu alamiah. Kalau orang
mau berdagang, ya sediakan barang yang bagus, kasih harga yang bagus,
begitu saja.”
Ia memang tidak belajar secara akademis. Namun dari jejaknya,
terlihat jelas bahwa ia justru mengamalkan berbagai ilmu manajemen yang
banyak diteorikan oleh para pakar manajemen.
Dengan
ketiga faktor itulah, menurut saya, ia bermetamarfosa dari ulat
(seorang yang tekun menggeluti bisnisnya tanpa mengeluh, pantang
menyerah) menjadi kupu-kupu (pengusaha hasil laut yang sukses). Kini
kupu-kupu itu terbang makin tinggi karena ia juga membangun maskapai
pesawat carteran, sebagai ekspansi usahanya. Pesawat Cessna yang semula
hanya dipakai untuk mendukung ekspor hasil lautnya ternyata mampu
menggugah semangat wirausahanya untuk masuk ke bisnis baru: pesawat
carteran. Tahun ini ia bakal memiliki 14 pesawat kecil yang terbang ke
daerah-daerah pelosok, termasuk Aceh dan Papua.
Oleh: Nukman Luthfi
Catatan Tambahan: Tulisan diatas adalah tulisan lama yang diposting tahun 2008. Siapa sangka 6 tahun kemudian sang kupu-kupu itu sekarang menjadi Menteri yang Fenomenal. Selamat kepada Ibu Susi Pujiastuti yang telah diangkat Presiden Jokowi menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.