Mediawarga.info--SALAH satu capaian legislasi yang dinilai
fenomenal sepanjang periode 2009-2014 ialah lahirnya UU No 6/ 2014
tentang Desa (UU Desa). Lahirnya UU itu setidaknya menandakan dua hal.
Pertama, pehatian kepada upaya pembangunan desa semakin kuat. Kedua,
paham otonomi asli desa yang semakin kuat dipedomani dengan konsekuensi
meletakkan lokus pembangunan pada satuan pemerintahan/komunitas yang
paling bawah dan langsung berhubungan dengan rakyat.
UU Desa yang kini berusia satu tahun menandai perspektif baru tentang
hakikat otonomi desa sebagai self governing community (desa adat)
ataupun local self government (desa). UU Desa menetapkan pemerintahan
desa dalam sistem pemerintahan NKRI, tetapi pengakuan terhadap otonomi
desa--dalam kerangka otonomi asli (karena hak asal usul dan
tradisionalnya)--jauh lebih jelas diuraikan di dalam UU tersebut.
Hal itu dapat dirujuk dari asas yang dianut UU Desa. Asas rekognisi,
yaitu pengakuan atas hak asal usul desa, dan kedua asas subsidiaritas,
yakni lokalisasi kewenangan di aras desa dan pengambilan keputusan
secara lokal atas kepentingan masyarakat setempat.
Otonomi desa dimaksud mengandung arti hak desa untuk mempunyai,
mengelola, atau memperoleh sumber daya ekonomi-politik, kewenangan untuk
mengatur dan mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik
dan kepentingan masyarakat setempat, dan tanggung jawab desa untuk
mengurus kepentingan publik 'rakyat' desa melalui pelayanan publik.
Dana Desa
Sejalan dengan kewenangan otonomi desa di atas, UU 6/2014 Pasal 72
menyebutkan sumber-sumber pendapatan desa guna mendukung percepatan
kemandirian dan pembangunan desa di masa depan, yaitu pendapatan asli
desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi,
gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa; alokasi APBN; bagian
dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; alokasi
dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota; bantuan keuangan dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/
kota; hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
lain-lain pendapatan desa yang sah.
UU Desa mengamanatkan kepada negara alokasi APBN yang bersumber dari
belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara
merata dan berkeadilan. Sementara itu, terkait dengan alokasi dana desa
yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota, negara wajib mengalokasi paling sedikit 10% dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi
dana alokasi khusus.
Adapun bagian desa dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah
kabupaten/kota paling sedikit 10% dari pajak dan retribusi daerah. Jika
APBN 2015 baru mengalokasi Rp9,1 triliun, jumlah itu melonjak pada
APBN-P 2015 menjadi Rp20,7 triliun.
Meski belum memenuhi ketentuan UU, angka tersebut tentu tidaklah sedikit
sembari mempersiapkan infrastruktur pengelolaan dana di setiap desa di
seluruh Indonesia. Dana tersebut haruslah menjadi stimulus bagi
pemerintah desa untuk bisa menghasilkan pendapatan sendiri.
Apalagi, UU juga telah memberikan ruang bagi desa nantinya untuk
mendapatkan dana yang bersumber dari pendapatan asli desa yang merupakan
hasil usaha yang dilakukan di desa. Kemampuan perangkat desa dalam
mengelola dana desa menjadi hal yang sangat strategis ke depan.
Fokus pada desa ini juga disambut pemerintahan baru hasil Pemilu 2014.
Kabinet Kerja Jokowi-JK secara khusus membentuk Kementerian Desa, lebih
tepatnya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi.
Hadirnya kementerian khusus tentang desa ini hendaknya tidak dimaknai
sekadar birokratisasi baru pengaturan dan pengelolaan desa, apalagi jika
eksesnya menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan manajemen
pembangunan desa. Ia harus dimaknai sebagai bentuk kesungguhan untuk
semakin menguatkan desa dalam dimensi kebijakan.
Pada tahap awal pemerintah harus mengonsolidasikan fungsi-fungsi
perencanaan, penganggaran, hingga pengawasan terkait dengan desa agar
dapat efektif dilakukan dalam kementerian yang khusus dibentuk untuk
menangani desa itu. Jangan sampai kehadiran Kementerian Desa justru
menimbulkan permasalahan baru seperti yang tampak mencuat soal saling
silang dan sengketa kewenangan antara kementerian itu dan Kementerian
Dalam Negeri yang selama ini memang menangani pemerintahan desa.
Fokus Pembangunan Desa
Desa, namanya kerap disebut dalam pergulatan pembangunan nasional, baik
dalam nada positif maupun negatif. Dalam nada positif desa disebut untuk
menggambarkan kearifan lokal bangsa Indonesia: semangat hidup, suasana
kekeluargaan, gotong royong, dan lain sebagainya.
Bahkan demokrasi telah dipraktikkan di desa jauh sebelum ada pemilu dan
pilkada. Hal itu menunjukkan desa sejatinya merupakan prototipe karakter
pemerintahan Indonesia.
Meski demikian, desa juga kerap disebut dalam nada negatif, misalnya
desa-desa di Indonesia sudah kehilangan karakternya, desa tidak lagi
produktif, desa ditinggalkan para pemuda yang lebih suka merantau ke
kota-kota untuk mengadu nasib, dan porsi kemiskinan terbesar ada di
perdesaan. Pandangan yang berkembang tentang desa tersebut menjadi batu
pijakan bagi pembuat UU untuk menjadikan desa sebagai fokus dan lokus
pembangunan.
Sisi positif ataupun negatif tentang desa nyatanya sama sekali tidak
mengecilkan peran dan kedudukan desa. Lepas dari persoalan yang
membelenggu desa, desa terus menjadi harapan dan menjadi solusi bagi
berbagai permasalahan pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. Semakin
kuatnya arus pembangunan desa tentu patut kita sambut dengan gembira.
Namun, tidak sedikit kalangan mengkhawatirkan bahkan merasa pesimistis
jika pengarusutamaan desa itu bisa berjalan mulus. Kekhawatiran tersebut
utamanya berpokok pada politik kebijakan yang money oriented bukan
capacity oriented, yakni politik kebijakan yang lebih mementingkan
pencapaian target dana desa bukan politik kebijakan yang berorientasi
pada peningkatan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan dan
melaksanakan pembangunan.
Karena itu, fokus pada desa hendaknya tidak berpusat pada dana desanya,
tapi secara luas harus dilihat dalam perspektif pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan desa yang tampak dari peningkatan kualitas
hidup manusia dan penanggulangan kemiskinan di desa. Ini berarti
kerangka konseptual dan implementasi pembangunan desa harus jelas
dijabarkan pemerintah ataupun pemerintah daerah.
Itu, antara lain, harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan
sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal,
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan,
termasuk dalam mengelola keamanan dan ketertiban sebagaimana tertuang
dalam sejumlah pasal di dalam UU.
UU Desa harus mampu mengejawantahkan harapan baru, tidak hanya bagi
pemerintah desa tetapi juga masyarakatnya yang sejalan dengan tujuan UU
Desa, yaitu menjadikan desa lebih mandiri bukan hanya dalam
penyelenggaraan pemerintahan, melainkan juga dalam pengelolaan--termasuk
penentuan dan pemanfaatan--keuangan dan aset desa.
Masyarakat, termasuk kelembagaan masyarakat, diakui sebagai elemen
penting dalam penentuan masa depan desa itu sendiri. UU Desa sejatinya
memberikan ruang bagi masyarakat desa untuk melaksanakan demokrasi dan
meningkatkan kesejahteraan mereka dengan daya dan kreativitas yang
mereka miliki.
Bagi pemerintah, momentum UU Desa harus dikelola serius, jangan terlena
soal keuangan semata sehingga menjadi pragmatis. Pemerintah harus
menyiapkan cetak biru (blueprint) arah pembangunan desa jangka pendek,
menengah, dan panjang berikut indikator kesuksesan yang jelas dan
terukur.
Hanya dengan cara itulah asa membangun dari desa melalui lahirnya UU Desa menjadi berkah nyata. (Metrotvnews.com)
Oleh: Farouk Muhammad, Wakil Ketua DPD RI/Timja RUU Desa DPD RI
0 Komentar