Gampong dan UU Desa

Oleh : Sulaiman Tripa

Mediawarga.info--PENEGASAN istilah gampong yang berbeda dengan desa, dalam tulisan ini sangat penting, mengingat: Pertama, konsep gampong adalah cermin dari realitas sejarah dan perkembangan sosial-budaya masyarakat Aceh. Apa yang dikonsepsikan dengan gampong tidak mungkin dilepaskan dari berbagai aspek kehidupan. Atas dasar ini, maka dapat dipahami masing-masing daerah memiliki konsep yang berbeda tentang teritorial pemerintahan dasar tersebut. Namanya desa, gampong, marga dan lain-lain. Dan, kedua, gampong memiliki pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pengaturan ini sedikit berbeda dengan pengaturan Desa yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.

Dengan dua alasan tersebut, maka penyebutan gampong yang berbeda dari desa, adalah wajar dan rasional. Apalagi desa kemudian secara khusus sudah diatur dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini disetujui DPR RI pada 18 Desember 2013. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU tersebut pada 15 Januari 2014. Rancangan UU ini sendiri sudah diusul sejak 2007. Praktis sejak Indonesia merdeka, UU ini adalah UU kedua yang mengatur tentang desa. Sebelumnya adalah UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan desa di seluruh Indonesia.

Ilustrasi Gampong Di Aceh (Sumber: SeputarAceh.com)

Di Aceh, seperti daerah lain di Indonesia, turut merasakan gegap-gempita setelah UU Desa 2014 tersebut disahkan. Sayangnya gegap-gempita itu terfokus pada anggaran besar yang akan diterima desa. Hanya masyarakat di dua daerah saja yang khawatir dengan UU ini, yakni Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bali. Masyarakat dua daerah tersebut khawatir UU Desa akan membawa dampak bagi kekayaan sosial-budaya mereka.

Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, mengingat tujuan UU ini sendiri ingin mengakomodir hak asal usul dan hak tradisional. Istilah ini sendiri dalam konteks keberadaan masyarakat hukum adat, hingga sekarang masih terus diperdebatkan. Dalam konsep politik hukum, apa yang dinamakan hak asal-usul dan hak tradisional, kenyataannya sangat ditentukan oleh kehendak penguasa.

Lebih jauh, tujuan penting dari UU Desa adalah pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembentuk UU sangat menyadari bahwa keberadaan desa, dan semacamnya yang dalam Penjelasan UUD 1945 tersebar di 250 kawasan, adalah sesuatu yang ada. Keberadaannya sebelum Indonesia merdeka menentukan corak dan bentuknya hingga kini.

Kejelasan status

Tujuan lainnya adalah memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas desa dalam sistem ketatanegaraan demi mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Hal lain yang ingin dilakukan adalah melestarikan dan memajukan adat-tradisi-budaya, mendorong prakarsa dan dan partisipasi masyarakat, membentuk pemerintahan desa yang profesional, meningkatkan pelayanan publik, meningkatkan ketahanan sosial budaya, memajukan perekonomian, dan memperkuat masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Melihat semua tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa uang atau anggaran tidak menjadi kekuatan utama dalam pembangunan desa. Uang penting, namun ketika ia dianggap yang utama dan merusak kekuatan sosial-budaya lainnya, pada akhirnya akan membawa malapetaka. Di samping itu, UU Desa beranjak dari keyakinan bahwa desa adalah beragam. Kenyataan keberagaman ini ditampung dalam desa adat. Konsep desa adat terkait dengan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun.

Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul. Desa adat dapat berasal dari masyarakat hukum adat yang ditetapkan untuk menjalanan fungsi pemerintahan, dengan syarat adanya wilayah dengan batas yang jelas, adanya pemerintahan, dan perangkat lain, pranata adat dan sebagainya.

Masalahnya adalah penentuan desa adat sangat ditentukan oleh kehendak penguasa. Logikanya adalah masyarakat hukum adat yang hingga sekarang masih diperdebatkan, maka menentukan desa adat juga sesuatu yang sulit dilakukan. Ibarat buah simalakama. Menentukan desa adat sembarangan akan berimbas pada kaburnya konsep masyarakat hukum adat.

Sementara mengabaikan desa adat, pada dasarnya sama dengan mengabaikan tentang sesuatu yang ada dalam masyarakat kita. Pembentuk UU Desa menyadari kondisi ini. Desa adalah sesuatu yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Kesadaran ini memupuk semangat untuk melihat desa dalam konteks otonominya yang sangat khas. Desa dilihat sebagai seperangkat sistem kehidupan yang konteksnya berbeda dengan strata pemerintahan semata.

Atas dasar demikian, maka keberadaan anggaran desa harus disikapi dengan hati-hati. Anggaran desa akan berpengaruh bagi eksistensi desa dengan segala kekuatan sosial-budayanya nanti. Anggaran desa merupakan amanah Pasal 72 UU Desa yang menyebutkan bahwa alokasi dana desa bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. Besarnya paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK). Jumlah dana ini dihitung berbeda-beda oleh masing-masing pihak.

Secara umum, publik sudah terlanjur meyakini bahwa dana perimbangan tersebut akan diterima sebesar Rp 1 miliar per desa. Pimpinan DPR menghitung-hitung dan keluar angka Rp 700 juta. Budiman Sudjatmiko, selaku mantan Wakil Ketua Pansus UU Desa menyebutkan angka fantastis, Rp 1,4 miliar per desa pertahun. Angka ini keluar dari jumlah dana alokasi 10% sejumlah Rp 105 triliun dibagi rata 73 ribu desa. Untuk Aceh sendiri, hitungan persis jumlah dana tersebut berkisar antara Rp 254 juta hingga Rp 1,1 miliar (Serambi, 25/12).

Bagaimana gampong?

Lantas bagaimana dengan gampong? Kaitan ini menarik karena gampong secara khusus diatur oleh UU Pemerintahan Aceh. Di samping itu, satu hal yang berbeda dan harus dilihat adalah pada level di atas gampong, terdapat Mukim di Aceh. Kenyataan ini juga harus mendapat perhatian serius. Terlepas dari besaran dana yang akan dialokasikan, implikasi anggaran harus dipikirkan sejak dini. Anggaran yang besar dapat menjadi sumber bencana dan malapetaka yang merusak harmoni sosial gampong di kemudian hari.

Apabila ditelisik lebih jauh, kerusakan modal sosial disebabkan anggaran berpotensi pada tiga hal: Pertama, kesiapan sumberdaya manusia aparatur dalam menyusun dan mengelola anggaran. Dana memiliki mekanisme anggaran yang ketat, sehingga orang-orang yang bermasalah dengan hukum nantinya, tidak selalu bermakna orang yang “makan” uang. Orang berkasus bisa saja orang yang tidak tepat penggunaan anggaran atau orang yang salah atau keliru dalam administrasi keuangan. Orang-orang yang ditimpa hukum, walau karena kekeliruan laporan, pada akhirnya akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Apabila ini yang terjadi, maka konsep pimpinan gampong yang diibaratkan ma ngon ku menjadi hancur.

Kedua, ada perbedaan dana yang diterima antara desa yang satu dengan yang lain. Bahkan gampong yang bertetangga saja, memiliki jumlah dana yang diterima berbeda. Perbedaan ini tidak selalu bisa dipahami secara positif oleh publik melalui sejumlah indikator yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Konon lagi gampong-gampong berdekatan yang pemekarannya terjadi karena disharmoni. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah baru.

Ketiga, peluang pengabaian modal sosial, berupa nilai kebersamaan, kekeluargaan, kegotong-royongan. Pengajuan program secara tidak hati-hati, akan menggerus nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini bisa terjadi misalnya untuk hal-hal yang dilakukan dengan kekuatan modal sosial, kemudian diprogramkan dengan anggaran. Kita tidak mengharapkan bahwa suatu saat untuk melaksanakan fardhu kifayah pun, harus dianggarkan dengan dana gampong terlebih dulu.

* Sulaiman Tripa, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: st_aceh@yahoo.co.id
Sumber: Serambi Indonesia

Baca juga :

Tags: Dana DesaUU Desa

Posting Komentar

0 Komentar