Oleh
Munawar A. Djalil
Mediawarga.info--GAGASAN
Tim DPRA untuk bertemu dan berdialog dengan kelompok bersenjata di Aceh seperti
Din Minimi, Gambit dan lainnya yang direncanakan pertengahan April 2015 ini,
patut diapresiasi oleh seluruh komponen masyarakat Aceh. Keinginan ini
disampaikan oleh Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh. Menurutnya langkah
tersebut dilakukan agar ke depan semua pihak bisa duduk bersama untuk mencari
solusi terbaik demi pembangunan dan kemajuan Aceh.
Sementara
Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Agus Kriswanto mengutarakan bahwa kelompok
bersenjata yang bermotif ekonomi ini mesti ditangani secepatnya sebelum korban
banyak berjatuhan. Menurut Pangdam kemunculan kelompok bersenjata di Aceh
persoalannya bukan lagi secara politik ingin berseteru dengan pemerintah pusat
melainkan ingin melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Aceh (Serambi, 5/4/2015).
Nah,
mensikapi ini langkah yang paling arif adalah pemerintah mesti melakukan
pendekatan secara persuasif, dialogis dan psikologis. Karena pendekatan lunak
semacam itu sebenarnya merupakan nuansa khas dari kultur politik masyarakat
Aceh.
Masjid Baiturahman Banda Aceh (www.pariwisata-aceh.blogspot.com) |
Kalau
sejenak kita melakukan kilas balik tentang Aceh tempo dulu, ketika itu kita
sempat bertanya hakekatnya untuk tujuan apakah sebuah negara didirikan dan
dibela sepanjang hayat jika eksistensinya terancam? Seluruh kitab-kitab
filsafat boleh dibuka untuk menjelenterehkan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Tapi orang tahu pasti bahkan tanpa membuka pun, hal pertama dalam sebuah buku
filsafat dinyatakan bahwa negara sumber harapan bagi kesejahteraan dan
kedamaian rakyatnya.
Demikianlah
commonsense itu mestinya bisa difahami
secara mudah dan sederhana. Tetapi di Aceh saat itu rakyat meneriakkan
pertanyaan di atas dengan tanda tanya lebih besar dan semakin tebal. Sebab
jangankan memberikan kedamaian, negara yang mereka kenal selama ini, alih-alih
telah menjadi pusat segala hal ikhwal penderitaan mereka, setidaknya untuk
sebagian besar pengalaman mereka berhubungan dengan republik ini. Mengapa?
Sebab apa yang mereka ihktiarkan untuk kejayaan Republik selama ini, justeru
berbuah penindasan tanpa ampun.
Sejarah
perlawanan Sejarah tak akan pernah berdusta, sumbangan rakyat Aceh untuk
mendirikan dan mempertahankan Republik ini telah tercatat dengan tinta emas.
Sejak 1873 rakyat di Serambi Mekkah itu telah mengobarkan perlawanan terhadap
Belanda, yang kemudian dikenal dengan perang Aceh. Itulah perang termahal dan
paling lama yang harus ditanggung kompeni Belanda yang menewaskan 12 ribu
serdadu mereka. Demikian pula Aceh harus membayar dengan 70 ribu jiwa syuhada.
Kegemilangan
sejarah perlawanan itu terus berlanjut saat Republik Indonesia memasuki kecamuk
perang kemerdekaaan (1945-1949). Kembali Aceh merupakan satu-satunya kawasan di
Nusantara yang tak mampu diduduki Belanda. Sebuah pilihan yang tidak saja
merupakan keputusan politik, tapi itu adalah sebuah kesetiaan yang diuji sejarah
saat Indonesia berubah bentuk menjadi negara federasi tahun 1949-1950. Abu Daud
Beureueh dan para Ulama menolak tawaran untuk menyempalkan Aceh menjadi negara
federal dan memilih tetap bergabung dengan negara RI.
Demikianlah
Aceh telah menyerahkan segalanya untuk mewujudkan sebuah entitas kenegaraan
yang disebut Republik Indonesia. Tetapi negara itu pulalah yang kemudian
mengkhianati seluruh kesetiaan warga tanah Serambi Mekkah ini. Ternyata bagi
rakyat Aceh, sosok negara yang penumbuhannya dinisbatkan pada pemerintah pusat
dan militer itu telah menjadi sumber penderitaan dan momok menakutkan yang tak
terbayangkan. Dan pertanyaan yang dikutip diatas telah digemakan rakyat Aceh
dengan bentuk tuntutan dialogis sehingga Aceh menjadi daerah damai. Itulah secuil
ilustrasi sejarah kegemilangan Aceh masa silam sampai kepada tuntutan dialog
kedamaian Aceh sebagai wujud dari kultur politik rakyat.
Studi
mengenai Aceh akhir-akhir ini tidak hanya melulu mengenai masa lalunya yang
jaya, namun telah merambah ke arah bagaimana kultur politik rakyat Aceh
terhadap pemerintah dan reaksi-reaksinya yang khas. Satu dari sekian banyak
keistimewaan Daerah Aceh, di samping kegemilangan sejarah perjuangan, berikut
deretan nama pahlawan Nasional semisal Tgk Chik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak
Dhien, Cut Meutia dan lainnya, adalah motto masyarakatnya yang khas, hidup
mulia dan mati syahid. Entah seberapa jauh motto ini menjadi pegangan bagi
masyarakat Aceh, namun kalimat-kalimat bertuah yang sempat menghiasi tugu-tugu
perbatasan, genteng-genteng sekolah itu menggambarkan gelora masyarakat dalam
memperjuangkan hak-hak dan harkatnya.
Pascatsunami
2004 dan MoU Helsinki 2005, masyarakat Aceh seakan telah menaikkan bendera
perjuangan bagi kehormatan tanah mereka dan telah mewujudkan jati dirinya,
dengan apa yang disebut the imaged community, gabungan antara keyakinan agama,
wibawa dan perekat persatuan, itu telah mengantar citra negeri ini sebagai
negeri yang tidak gampang diobok-obok oleh siapa pun. Namun sebagian masyarakat
belum menganggap tuntas tentang penyelewengan wewenang militer pada masa DOM
dulu, walaupun pemerintah telah menyelesaikan secara tuntas dengan program
reintegrasi. Realitanya sampai kini pemerintah merasa amat berat menuntaskan
impact atau sisi negatif sebuah keputusan politik keamanan yang panjang dan
berisiko tersebut. Satu risiko ini adalah masih terdapatnya kelompok masyarakat
yang menenteng senjata akibat kekecewaan terhadap pemerintah khususnya
pemerintah Aceh.
Pengaruh
Islam Kita masih ingat terbentuknya kerajaan Aceh Darussalam membawa persepsi
kultural yang mendalam. Kadar hubungan ini dalam kata-kata adat ngon hukom
lagee zat ngon sifeut (adat dengan hukum seperti zat dengan sifat). Hal ini
menunjukkan bahwa agama Islam sangat berpengaruh terhadap alam pikiran dan
tindakan masyarakat Aceh. Hal-hal yang ada sangkut-paut dengan Islam merupakan
sesuatu yang sangat penting dan selalu dihormati. Studi kultur politik Aceh,
mengindikasikan unsur-unsur agama yang berkembang sangat besar pengaruhnya dan
dapat memberi warna pada banyak bidang kehidupan masyarakat Aceh.
Jika
sekarang banyak terjadi letusan pergolakan artifisian dan sosial di Aceh, yang
disertai munculnya kelompok-kelopmpok tertentu yang sangat misterius bagi
rakyat, maka semakin jelaslah bahwa rakyat telah kehilangan pemimpin sosial
mereka, yaitu ulama. Kondisi ini sekaligus memperlihatkan bahwa struktur sosial
Aceh telah berubah. Terutama sejak 1970-an dan 1980-an, ketika industrialisasi
berlangsung, proses pembiakan kelompok-kelompok masyarakat telah terjadi.
Di
samping lapisan ulama, warisan masa lampau yang kini telah terkooptasi.
Sekarang telah muncul kepemimpinan birokratik, kaum industriawan baru, kaum
menengah ekonomi, kaum terpelajar non dayah, kaum politisi dan lain-lain. Namun
proses pembiakan golongan-golongan masyarakat ini tidak berada dalam suatu
pengaruh kepemimpinan yang dihormati.
Munculnya
kelompok bersenjata di Aceh seperti Din Minimi adalah sebagai sebuah ekspresi
protes yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang tengah berada dalam masa
transisi menuju masyarakat modern, ujar SN Eisensta dalam buku Modernization,
Protest and Change. Dimulai dengan protes diikuti dengan perubahan maka barulah
modernisasi atau pembangunan bisa digelar. Maka dengan membangun sistem yang
sesuai dengan aspirasi rakyat sajalah persoalan sosial dan ekonomi masyarakat
Aceh akan dapat diselesaikan. Itulah kultur politik masyarakat Aceh sekarang
ini.
Pendekatan
kultur politik masyarakat Aceh seperti dialog, pendekatan persuasif merupakan
ikhtiar ilmiah untuk melihat kondisi Aceh secara objektif sehingga masyarakat
bisa menentukan langkah masa depan yang lebih baik. Upaya ini diharapkan
terhindar dari jawaban-jawaban diplomasi elite yang kerap kali kontradiktif dan
membingungkan masyarakat. Akhirnya, kita berdoa kepada Allah Swt agar upaya
DPRA untuk bertemu dan berdialog dengan Din Minimi, Gambit dan kelompok
bersenjata lainnya benar-benar akan menemukan jalan penyelesaian untuk Aceh
damai. Semoga!
*
Dr. Munawar A. Djalil, M.A., Pemerhati
Masalah Perdamaian dan Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat Islam Aceh, tinggal di
Ateuk Jawo Banda Aceh Email: aburiszatih@yahoo.co.id
0 Komentar