SDGs: Pembangunan Berkelanjutan atau Hutang Berkelanjutan?

Millenium Development Goals (MDGs)

Mediawarga.info--Negosiasi terkait apa dan bagaimana skema pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) pasca berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs) memasuki pertemuan ke-17 dimana kelompok kerja telah memajukan proposal dengan 17 tujuan dengan 169 target capaian. 

Sebagai negara yang masih bergantung dengan program-program bantuan internasional dan selama dua dekade ke belakang kita menjadikan MDGs sebagai assist, pengumpan bagi program pembangunan nasional maka apa yang terjadi dalam forum tadi tidak dapat kita abaikan.

Hal yang cukup menarik adalah data yang disampaikan IMF dimana disebutkan dalam estimasi calon debitor bahwa ada seperempat negara di dunia berada dalam kondisisi "a highly indebted" berada dalam jurang hutang dimana mereka dengan sangat mudah jatuh ke dalam krisis hutang tak berbayar.

Persoalan pendanaan kepada negara berkembang (miskin) akan mudah terkendala dengan persoalan pengentasan kemiskinan. Kewajiban pembayaran dengan bunga tinggi akan memaksa negara berkembang untuk memotong anggaran sektor sosial dan infrastruktur. Akibatnya infrastruktur yang diharapkan dapat menjadi pembuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak dapat direalisasikan dengan tepat. Sementara pengalihan anggaran dari sektor sosial dimana masyarakat kecil masih membutuhkan proteksi negara akan menimbulkan dilema dengan program peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan sosial yang menjadi cita-cita konstitusi.

Ini dapat kita lihat bagaimana program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang lebih berat kepada "social security heavy" (program-program jaminan sosial) lewat program aneka kartu sakti, belakangan mulai menuai persoalan. Mulai dari persoalan pembayaran tagihan kesehatan, kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok, ongkos transportasi, bahan-bahan produksi, sampai kenaikan harga properti. Belum lagi pemerintah seperti terpaksa menaikkan anggaran dengan menaikkan aneka jenis pajak dan tarif. Membuat capaian-capaian pemerintah sebelumnya dan janji-janji kesejahteraan dari pemerintahan sekarang kehilangan klaimnya sendiri.

Tantangan ini semakin mengkhawatirkan bukan hanya kreditor tetapi juga debitor. Negara-negara donor kuat seperti AS, Inggris, dan Jerman selalu akan menolak restrukturisasi hutang kecuali program-program yang mereka prasyaratkan dapat memenuhi mekanisme "global debt governance system", tata kelola perhutangan global. Di sisi lain, sangat sulit bagi negara berkembang seperti Indonesia memenuhi prasyarat-prasyarat negara maju seperti penggunaan teknologi ramah lingkungan (termasuk soal patent), pembatasan pembukaan lahan bagi keperluan produksi, sampai penegakkan hukum dan aturan tata kelola lahan atas nama perdagangan karbon yang kerap menekan pemain menengah di komoditas terbarukan seperti sawit.

Hal lain yang juga turut membuat resiko krisis hutang di negara berkembang (developing countries) dan bangkit (emerging countries) adalah keengganan donor menanamkan investasi kecuali dengan resiko hutang dan modal (capital hedge) yang ditanggung oleh negara kreditor. Yang artinya kedaulatan negara peminjam benar-benar rendah dan karenanya posisinya semakin melemah.

Menghadapi keadaan seperti ini, sebenarnya Indonesia masih dapat melakukan beberapa langkah yaitu;

Pertama, mendorong poin-poin yang sedikit menguntungkan atau mengendurkan tekanan melalui renegosiasi. Misalnya kita memahami bahwa persoalan hukum hutang-berhutang adalah bahwa pihak pemberi hutang juga membutuhkan kesinambungan pembayaran yang artinya mereka wajar saja menginginkan keuntungan bukan sekedar bunga dari dana yang mereka pinjamkan ke negara-negara berkembang. Misal Jerman berkepentingan sekali dengan kelapa sawit Indonesia untuk mendorong suksesnya program Renewable Eko energi dan alih teknologi terbarukan kepada negara-negara berkembang. Indonesia mungkin dapat meminta kebijakan lunak di persoalan hutang alat-alat produksi atau akses paten terbuka agar barang Jerman dapat diproduksi di negara kita. Posisi saling membutuhkan ini yang seharusnya dapat memajukan apa yang dikenal sebagai "responsible sovereign lending and borrowing principle" prinsip saling bertanggungjawab baik peminjam maupun yang dipinjamkan.

Kedua, bahwa selain tiga besar pendonor maka negara-negara lain sebenarnya cukup terbuka dengan skema pendanaan. Rusia, Cina, Jepang, Brazil, Afsel, sudah masuk sebagai negara-negara donor baru yang cukup merepotkan pendonor tradisional. Hanya saja persoalan mereka adalah skala komitmen, yaitu keseriusan melaksanakan bantuan atau investasi yang masih rendah karena beberapa ganjalan yaitu bahwa negara mereka sendiri masih membutuhkan pasar pagi produksi dalam negerinya selain sepertinya dunia internasional belum dapat diyakinkan oleh pemerintahan yang sekarang. (Rid)


Andi HakimOleh : Andi Hakim
Pegiat Media Sosial
Bisa dikontak melalui : https://www.facebook.com/andihakim03/

Posting Komentar

0 Komentar