Buku Perjalanan Mencari Keadilan Dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono , SH Karya H. Lukman Hakiem (Sumber:https://www.facebook.com/lukman.hakiem.39) |
Mediawarga.info--Sabtu, 12 September 2015, trend pemberitaan media massa dan
media sosial lebih fokus kepada tragedi crane
yang roboh di Mekkah, kunjungan Presiden Jokowi di Arab Saudi, bencana asap dan paket
kebijakan ekonomi yang baru saja dikeluarkan pemerintah. Ada
peristiwa sejarah yang luput dari
sorotan media massa dan masyarakat yang biasa diperingati setiap tanggal 12 September,
yakni Tragedi Tanjung Priok.
Peristiwa
Tanjung Priok adalah
peristiwa kerusuhan
yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok,
Jakarta,
yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung
rusak terbakar. Menurut laporan resmi Pemerintah, setidaknya 9 orang tewas
terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat.
Salahsatunya Amir Biki, seorang aktivis Islam.
Kerusuhan ini akibat ketidakpuasan
beberapa elemen ummat Islam terkait sikap arogan aparat keamanan merampas brosur yang mengkritik pemerintah di
salah satu Mushola di kawasan Tanjung Priok.
Tragedi Tanjung Priok, 12 September 1984,
merupakan peristiwa terkelam ummat Islam di massa Orde Baru. Peristiwa ini juga
merupakan “titik nadir” dalam hubungan ummat Islam dan rezim Orde Baru.
H. Lukman Hakiem (Facebook) |
Peristiwa kerusuhan Tanjung Priok dicatat dengan
baik di beberapa literatur/buku diantaranya ditulis oleh H. Lukman Hakiem
dengan judul “Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan Biografi DR. Anwar Harjono, SH” yang dicetak Media Dakwah Jakarta tahun 1993.
H. Lukman Hakiem adalah mantan anggota
DPR-RI dari Fraksi PPP periode 2004-2009. Hari ini
kebetulan Admin Mediawarga.info mendapat kesempatan berdialog
dengan beliau melalui akun Facebook (https://www.facebook.com/lukman.hakiem.39)
terkait peristiwa Tanjung Priok.
Peristiwa Tanjung Priok dituangkan dengan
baik oleh H. Lukman Hakiem dibukunya dan dituliskan kembali di akun Facebook hari ini, Minggu (13/09/2015). Alhamdulillah, admin mendapat izin untuk menuliskan kembali di Mediawarga.info dan
Kompasiana.com.
Di akun Facebook, H. Lukman Hakiem menceritakan
tentang sejarah dikeluarkanya “Lembaran Putih” oleh Kelompok Kerja Petisi 50
dan penangkapan anggotanya yang dituduh terkait dengan peristiwa Tanjung Priok
yakni AM. Fatwa (Sekarang anggota Senator/DPD-RI), Mantan Pangdam Siliwangi,
Letjen TNI (Purn) H.R. Dharsono dan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan
Kerajinan Rakyat (1966-1968), Ir. H.M. Sanusi.
Kelompok kerja Petisi 50, sebuah kelompok
oposisi terhadap rezim Orde Baru Soeharto yang dibentuk pada 5 Mei 1980 yang anggotanya
terdiri atas para purnawirawan perwira tinggi tentara, purnawirawan perwira
tinggi polisi, politisi sipil, dan aktivis mahasiswa.
H. Lukman Hakiem mencatat, sehubungan
dengan Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984 itu, Kelompok Kerja Petisi 50
dan beberapa warga negara lain non-Petisi 50 mengeluarkan "Lembaran Putih
Peristiwa 12 September 1984 di Tanjung Priok.
Lembaran putih dikeluarkan karena petisi
50 meragukan keterangan Panglima ABRI waktu itu, Jenderal L.B. Moerdani, yang mengumumkan jumlah korban tewas hanya 9 orang.
Suatu angka yang diragukan Kelompok Kerja Petisi 50.
Berikut kutipan isi lembaran putih yang
ditulis oleh H. Lukman Hakiem yang juga dituangkan dalam buku beliau :
“Lembaran
Putih berpendapat, insiden Tanjung Priok sesungguhnya sekadar penyulut
(trigger) yang meledakkan ketegangan yang sudah lama membara di bawah permukaan
stabilitas semu.
Sebab-sebab
keresahan itu, menurut Lembaran Putih dapat dikembalikan kepada satu sumber,
yaitu penyimpangan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara dari isi dan
jiwa UUD 1945 yang memuncak pada satu paket lima Rancangan Undang-undang (RUU)
tentang "penataan" kehidupan politik, terutama gagasan asas tunggal
Pancasila.
Lebih
lanjut Lembaran Putih mencatat: "Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa
terjadi penyimpangan penguasa dalam pengamalan ketentuan-ketentuan Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pada itu, rakyat tidak berdaya mengubah keadaan melalui cara yang
demokratis.
Dengan
demikian, musibah 12 September 1984 di Tanjung Priok bukan kejadian yang
berdiri sendiri, ia adalah akibat dari sistem yang berlaku."
Menutup pendiriannya, Lembaran Putih menganjurkan: "Demi keadilan bagi
semua pihak, termasuk bagi pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi
bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian
September 1984 di Tanjung Priok. Laporan komisi itu harus diumumkan kepada
khalayak ramai, supaya semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya."
Lembaran
Putih yang dikeluarkan di Jakarta pada 17 September 1984, ditandatangani oleh
22 orang, yaitu: Azis Saleh, H.R. Dharsono, Suyitno Sukirno, Ali Sadikin,
Hoegeng, Sjafruddin Prawiranegara, Darsjaf Rahman, Wachdiat Sukardi,
Boerhanoeddin Harahap, Abdulrahman Sy, Slamet Bratanata, H.M. Sanusi, Bakri
A.G. Tianlean, D. Ch. Suriadiredja, M. Muin, M. Radjab Ranggasoli, M. Amin Ely,
Anwar Harjono, A.M. Fatwa, H. Hamzah Hariandja, N.P. Siregar, dan Sofwan AM.
Alih-alih memenuhi anjuran Lembaran Putih, tiga orang penandatangan Lembaran
Putih malah ditangkap dan dipenjara.
AM. Fatwa (Facebook) |
Menteri
Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968), Ir. H.M. Sanusi
dituduh mendalangi dan membiayai peledakan gedung Bank Central Asia (BCA) dan
jembatan Metro, Gkodok. Generasi pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
tokoh Muhammadiyah itu dihukum penjara 19 tahun.
Bekas
pejabat di pemerintahan provinsi DKI Jakarta yang juga alumni HMI dan Pelajar
Islam Indonesia (PII), A.M. Fatwa dihukum 18 tahun. Di era reformasi sesudah
direhabilitasi oleh Presiden B.J. Habibie, Fatwa menjadi pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)-RI, pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)-RI,
dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD)-RI. Mantan Pangdam Siliwangi, Letjen TNI (Purn) H.R. Dharsono dihukum 7 tahun.
Fatwa
dan Dharsono dituduh merancang sebuah aksi teror dengan menjadikan peristiwa
Tanjung Priok sebagai modal.
Semoga
sekarang dan di masa datang, tragedi berdarah seperti di Tanjung Priok --ketika
aspirasi rakyat dihadapi dengan peluru tajam-- tidak terjadi lagi.”
Peritiwa Tragedi Tanjung Priok sudah
terjadi 31 tahun lalu, tulisan ini bukan untuk membuka “luka lama” ummat Islam,
tapi sekedar mengingatkan bahwa pernah terjadi peristiwa kelam terhadap Ummat
Islam oleh rezim yang represif waktu itu.
Kondisi Indonesia sudah berubah, lebih demokratis, namun sikap-sikap Islamophobia masih ada, didukung dengan kondisi ummat Islam global saat ini yang kondisinya sangat menyedihkan serta isu terorisme dan radikalisme Islam. Harapannya peristiwa-peristiwa kekerasan kepada rakyat mengatasnamakan negara tidak pernah terulang kembali dimassa depan. (RID)
Referensi
Tulisan :
1. Lukman
Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan, Jakarta, Media Dakwah,
1993
2. Akun
Facebook Lukman Hakiem (https://www.facebook.com/lukman.hakiem.39)
3. Wikipedia
Indonesia.
0 Komentar