Ombak Perdamaian Aceh

Penulis di depan Masjid Baitturahman, Banda Aceh Tahun 2008. Penulis pernah bertugas di Aceh sebagai Fasilitator/Relawan untuk membantu masyarakat Aceh Paska Bencana Tsunami tahun 2004 (Dokumentasi Pribadi)
Penulis di depan Masjid Baitturahman, Banda Aceh Tahun 2008. Penulis pernah bertugas di Aceh sebagai Fasilitator/Relawan untuk membantu masyarakat Aceh Paska Bencana Tsunami tahun 2004 (Dokumentasi Pribadi)

Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/ridwan78/ombak-perdamaian-aceh_567df31b999373ef10cf52fa

Debu berterbangan dari jalan Gampong yang aspalnya sudah terkelupas. Susah payah ku meliukan kereta (motor) menghindari jalan berlubang.

Aku sudah mulai terbiasa melewati jalur ini. Jalan ini satu-satunya akses dari Kota Kecamatan Lamno ke empat Gampong di Kuala Daya: Nusa, Rumpit, Darat dan Gle Jong. Setelah Gle Jong, tidak ada lagi akses ke Gampong lain di Kuala Daya karena jembatan satu-satunya penghubung antara empat Desa tersebut dengan desa lainnya tersapu Tsunami.

Hampir tiap hari kulalui jalan ini, sehingga hapal titik-titik jalan yang rusak parah. Disepanjang jalan, kiri dan kanan, tampak tenda-tenda dan barak pengungsi masih berdiri. Sebagian rumah bantuan dari luar negeri, sudah mulai dibangun. Aceh pasca bencana Tsunami, khususnya pesisir barat Aceh memang "hancur total".

Keretaku melaju tidak terlalu kencang, saat memasuki Desa Nusa seseorang menyapa.

"Piuh (mampir) Dek, ngopi dulu" Sapa Tengku Hasan yang ku kenal sebagai seorang Tengku Imum (Ulama) di Gampong Nusa, Kuala Daya, yang kebetulan sedang di depan sebuah kedai kopi.

"Terima kasih, saya harus ke Gle Jong dulu" Jawabku, sambil mematikan kereta.

Aku turun sebentar, sekedar untuk menyalami dan berbincang dengan Tengku Imum yang ku kenal sebagai tokoh masyarakat yang dihormati diwilayah Kuala Daya.

Tidak lama kami berbincang, aku segera pamit dan melanjutkan perjalanan.

Tiba ditujuan, memasuki Gle Jong, sebuah Gampong dekat pantai, tidak jauh dari makam Po Teumeureuhom Daya (nama lain dari Sultan Alaiddin Riayat Syah, Sultan Mereuhom Daya yang termasyhur)  tampak beberapa tenda yang mulai lusuh dan beberapa unit Huntara (Hunian sementara).

Segera ku mendekat kesalahsatu Huntara  yang ditempati seorang Pemuda yang sedang asyik memetik gitar.

Menyapanya dengan ucapan salam, kami langsung berbincang.

"Peue haba (Apa kabar)?" Sapaku

"Haba gèt  (Kabar baik)," Jawabnya.

"Maaf Lon (saya) mengganggu istirahat Abang, sedikit ingin berbincang, boleh?", ungkapku.

"Silahkan", jawabnya dengan tersenyum.

"Saya dari konsultan kementerian Pekerjaan Umum, perlu data untuk persiapan rehab rekon Gampong ini. Berapa penduduk yang tersisa di Gampong Ini Bang?" Tanyaku pada Pemuda yang memiliki bola mata biru seperti orang eropa tersebut.

 "Hanya tinggal 27 Jiwa, 10 diantaranya Perempuan dan anak-anak", Jawabnya tenang.

Itupun selamat karena sedang berada di Pasar Lamno dan ladang yang jauh dari Pantai, hampir tidak ada warga selamat yang berada di Gampong ini ketika tsunami menerjang Kuala Daya, tambahnya.

"Lalu, abang sendiri bisa selamat dari tsunami bagaimana? Maaf saya tidak mau buka luka lama", tanyaku.

Dia hanya menarik napas panjang dan tersenyum. Dia tidak jawab pertanyaan saya.

"Ceritanya panjang, dan tidak elok untuk diceritakan" Jawabnya singkat.

Melihat mimik mukanya, ku putuskan untuk tidak lanjutkan dialog.

Untuk memecah kebuntuan pembicaraan, pemuda itu memberikan gitar padaku, cobalah, bisa main gitar? Tanyanya.

Ku jawab dengan gelengkan kepala.

Akhirnya, dia ambil kembali gitar itu dan langsung mendendangkan dua buah lagu Aceh yang di iringi petikan gitar.

Lagu "Aceh Lon Sayang" dan "Seulanga" Kemudian dia dendangkan dengan merdunya.

Aku jadi merinding mendengar alunan suara vokal dan petikan gitarnya.

Beberapa waktu kemudian, baru ku tahu, pemuda itu selamat dari bencana Tsunami karena sedang bergerilya di hutan. Baru turun gunung paska ditandatanganinya MoU Helshinski....

Itulah sekelumit ceritaku ketika sedang melakukan "Jihad Sosial" membantu warga di Nanggore aceh Darussalam paska Bencana Tsunami Aceh tahun 2004.

11 tahun sudah Bencana Tsunami berlalu, duka pasti tetap ada. Namun hikmahnya perdamaian tercipta di Bumi Serambi Mekkah ini. Semoga damai abadi di Tanah Rencong....

Oleh : Muhammad Ridwan, Admin Mediawarga.info
Bandar Lampung, 26 Desember 2015.

Caption :Penulis saat memfasiltasi Rembug Warga Nanggroe Aceh Darussalam (Tahun 2005) di sebuah "Meunasah Darurat" di Gampong Meunasah Rayeuk, Lambeuso, Aceh Jaya, paska Bencana Tsunami 2004

Posting Komentar

0 Komentar