Kemiskinan, Masalah Sosial Tanpa Akhir


Rabu, 17 Oktober 2012

Oleh: Andi Haris (Dosen Sosiologi FISIP Universitas Hasanuddin)
 
FAJAR ONLINE - KETIKA para pemimpin dunia yang berasal  dari 150 negara bertemu dalam suatu KTT MDGs (Konferensi Tingkat Tinggi Millenium   Development  Goals ) yang berlangsung  di New York pada 20-22 September  2010 lalu dengan membahas suatu  tema sentral yang berjudul We Can End Poverty By 2015 yang kemudian menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Keeping The Promise: United to Achieve The Millenium Development Goals, maka banyak orang berharap agar supaya masalah kemiskinan, kebodohan, keterlantaran, kelaparan dan ketertinggalan yang selama ini banyak menjerat penduduk di berbagai belahan dunia terutama di negara berkembang bisa diatasi.

Apalagi, inti sasaran   yang dituangkan dalam rekomendasi Keeping the Promise di atas pada dasarnya merupakan suatu komitmen di kalangan para pemimpin dunia untuk melakukan langkah  konkret dalam mencapai tujuan MDGs.

Walaupun KTT MDGs ini hanya merupakan kelanjutan dari Konferensi Rio, Brasil 1992 dan KTT MDGs yang dilaksanakan oleh PBB di bulan September tahun 2000  yang dihadiri oleh para Kepala Negara dan Perwakilan dari 189 negara yang selanjutnya menghasilkan suatu deklarasi yang disebut sebagai Deklarasi Millenium yang berisi 8 sasaran pembangunan dengan 18 target dan 48 indikator, namun  masalah kemiskinan tetap saja menjadi isu penting yang dihadapi oleh semua negara.

Itulah sebabnya, tidak mengherankan misalnya apabila upaya untuk memerangi kemiskinan ternyata ditempatkan di peringkat pertama dari 8 sasaran pembangunan MDGs dengan pertimbangan persoalan kemiskinan masih saja dianggap sebagai masalah global utama dunia yang selalu mengadang di depan mata. Bahkan, komitmen untuk melawan kemiskinan ini juga kembali dibahas dalam KTT Bumi Rio +20 pada 20-22 Juni 2012  lewat tema Green Economy For Sustainable Development and Poverty  Eradication.                

Sekalipun demikian, tentu tidak semua orang merasa optimis kalau 8 sasaran pembangunan tersebut bisa dicapai di tahun 2015. Buktinya, ada saja sekelompok orang yang agak pesimis dan bahkan menganggap  pencapaian sasaran  MDGs ini cenderung lebih bersifat ilusif belaka dengan alasan beratnya tantangan yang dihadapi dalam mengatasi kemiskinan lantaran terjadinya krisis keuangan dan energi serta krisis pangan dunia.

Belum lagi, munculnya masalah yang dihadapi oleh negara maju seperti  persoalan terlilit hutang publik dan defisit anggaran sehingga hal ini  dinilai cukup mempersulit posisi mereka untuk  bisa  membantu memecahkan masalah kemiskinan yang dihadapi  di kubu negara  berkembang.

Meskipun begitu, terlepas dari pro kontra terhadap tercapai tidaknya sasaran  MDGs di tahun 2015 yang pasti pemerintah senantiasa memberi prioritas bagi kegiatan pengentasan kemiskinan  dengan cara  menyiapkan dana hingga triliunan rupiah untuk berbagai program bantuan bagi keluarga miskin. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) 2012 yang melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mengalami penurunan sebanyak 0,89 juta orang dari 30,02 juta orang di bulan Maret 2011 turun menjadi 29,13 Juta orang pada periode  Maret 2012.

Sementara itu, di sisi lain garis kemiskinan pun juga telah  mengalami kenaikan  sebesar 6,4 persen yaitu dari Rp233.740 per kapita perbulan pada Maret 2011 naik menjadi Rp248.707 per kapita perbulan untuk Maret 2012. Oleh sebab itu, bertitik tolak dari data BPS tahun 2012 setidaknya secara kuantitatif memberi gambaran pada kita semua tentang terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin meski dalam kenyataannya kita juga tidak dapat mengabaikan begitu saja jika masih ada sekelompok pengemis, pengamen serta anak jalanan baik itu yang dikategorikan sebagai children on street maupun children of the street yang setiap harinya dapat ditemui berkeliaran terutama di perempatan jalan di berbagai sudut kota metropolitan.         

Sebagai masalah sosial yang sudah ada sejak dahulu hingga sekarang, kemiskinan memang dianggap cukup rumit penyebab, dampak serta penanggulangannya. Terlebih lagi, karena indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan itu juga beragam sifatnya.

Kita sebut saja contohnya, di satu sisi ada yang mengukurnya dengan menyusun indikator tunggal seperti pendapatan dan pengeluaran yang kemudian dibakukan menjadi garis kemiskinan, sementara di sisi lain ada juga yang menggunakan indikator komposit yang seringkali dikaitkan dengan angka harapan hidup, melek huruf serta akses terhadap air bersih. Bahkan, lembaga seperti UNDP mengembangkan  cara kedua ini untuk mengukur naik-turunnya angka kemiskinan dengan menggunakan human development index dan human poverty index.     

Adapun penyebab kemiskinan dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti faktor geografis, birokrasi yang korup, ketidakadilan sosial ekonomi, cacat fisik dan mental, kewajiban adat/budaya, pemerasan, lingkungan keluarga serta faktor psikologi dan politik.

Sedangkan, dampak sosial kemiskinan yang dapat muncul di antaranya meningkatnya angka kejahatan, kematian dini dan kekerasan sosial, terbentuknya pemukiman liar, tidak sehat dan kumuh, terjadinya pencemaran lingkungan hidup serta maraknya praktik prostitusi, masalah anak jalanan, buta huruf, perdagangan manusia, anak putus sekolah serta pekerja anak di bawah umur.

Lalu, upaya untuk mengentaskan kemiskinan bisa dilakukan melalui pemberian bantuan modal usaha, peningkatan pendidikan, keterampilan serta kegiatan advokasi secara simultan sehingga suatu saat mereka dapat mandiri dan tidak lagi selalu tergantung pada uluran tangan pemerintah serta  orang lain.
Sumber: Fajar Online

Posting Komentar

0 Komentar