Tahun
2005, terjadi kontroversi, ketika Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan
yang berjudul “Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” yang
di dalamnya mengungkapkan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia hampir
separuhnya dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan waktu itu Badan Pusat
Statistik (BPS) mengeluarkan data
kemiskinan sekitar 39,1 juta orang dengan standar Indikator kemiskinan yang
berbeda dengan Bank Dunia.
Dilansir
Majalah Tempo (21/01/07), Ekonom Bank Dunia, DR. Vivi Alatas, dalam artikelnya menguraikan jawaban dari dua pertanyaan besar
yang selama ini menjadi kontroversi seputar data kemiskinan yang dikeluarkan
oleh Bank Dunia.
Pertama,
Kenapa data kemiskinan Bank Dunia jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS?
Kedua, kriteria kemiskinan apa yang digunakan oleh Bank Dunia?
Dalam
artikel DR. Vivi Alatas, terungkap bahwa Bank Dunia mengunakan dua kriteria
dalam menentukan garis kemiskinan. Pertama, menggunakan garis
kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori per
hari. Kedua, garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$ 1 dan US$
2. Bank Dunia menggunakan keduanya, masing - masing untuk tujuan analisis yang
berbeda.
Garis
kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS yang berdasarkan pola konsumsi,
digunakan Bank Dunia untuk menganalisis profil kemiskinan, penyebab kemiskinan
dan telaah strategi atau program antikemiskinan di sebuah Negara.
Namun,
karena parameter kemiskinan yang digunakan oleh suatu negara tidak bisa
digunakan oleh negara lain, maka Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan
internasional dalam bentuk nilai tukar PPP US$ 1 dan US$ 2, sebagai standar
internasional yang bisa diterapkan diseluruh negara.
Nilai
tukar PPP 1 US$ mempunyai pengertian
berapa rupiah yang diperlukan untuk membeli barang dan jasa, yang bisa di beli
dengan satu dollar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala
dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap
Negara.
Dari
perhitungan tersebut ditemukan bahwa 7,4 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi
di bawah PPP US$ 1 per hari dan 49 persen di bawah PPP US$ 2 per hari.
Angka
49 persen tingkat kemiskinan inilah yang jadi kontroversi, namun angka ini,
menurut Bank Dunia jauh lebih baik dibandingkan tahun 1999, dimana sekitar 75
persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 2 per hari.
Di
Asia Tenggara, tahun 2005, tingkat kemiskinan PPP US$ 1 Indonesia sebanding
dengan China (8 persen), sedikit di bawah Filipina (9,6 persen) dan sedikit di
atas Vietnam (6,2 persen). Namun untuk posisi dengan standar US$ 2 per hari,
Indonesia jauh lebih tinggi (49 persen), Bandingkan dengan konsumsi PPP US$ 2
China (26 persen), Filipina (39,3 persen) dan Vietnam (39,7 persen).
Dari
data tersebut, bisa dianalisa, ada gap pendapatan
yang sangat besar antara pendapatan US$ 1 (7,4 persen) dengan pendapatan di
bawah US$ 2 (49 persen) di Indonesia .
Menurut
DR. Vivi Alatas, besarnya selisih pendapatan US$ 1 dengan pendapatan US$
2 atau 41,6%, mencerminkan tingginya kerentanan kemiskinan di Indonesia. Jadi,
ada sekita 41,6% rakyat Indonesia rentan jatuh miskin, karena sejumlah besar
hidup diantara pendapatan US$ 1 dan US$ 2 atau setara dengan US$ 1,5 per hari.
Indeks Kemiskinan Multidimensi
Lima tahun kemudian, atau tahun 2010, Universitas
Oxford, Inggris, bersama United Nation Development Programme (UNDP) mengeluarkan
sebuah indeks kemiskinan baru yang disebut Indeks Kemiskinan Multidimensi atau
IKM. Dengan IKM, pendapatan diatas US$ 2 bukan lagi menjadi standar pengukuran
kemiskinan.
Seperti contoh, Pedagang Siomay yang pendapatan
bersihnya lebih dari Rp. 50 ribu perhari, namun rumah yang ditempatinya tidak
luas, sangat sederhana dan tinggal di kawasan kumuh.
Apabila menggunakan pengukuran garis kemiskinan versi Bank Dunia yang berpatokan pada pendapatan sebesar US$1 - US$2 atau sekira Rp 27.000 rupiah per hari, Pedagang Siomay tersebut masuk dalam kategori mampu. Namun berdasarkan Indeks Kemiskinan yang baru, Pedagang Siomay dikategorikan sebagai warga miskin.
Apabila menggunakan pengukuran garis kemiskinan versi Bank Dunia yang berpatokan pada pendapatan sebesar US$1 - US$2 atau sekira Rp 27.000 rupiah per hari, Pedagang Siomay tersebut masuk dalam kategori mampu. Namun berdasarkan Indeks Kemiskinan yang baru, Pedagang Siomay dikategorikan sebagai warga miskin.
IKM tidak hanya mengukur tingkat kemiskinan dari
pendapatan, tapi memperhitungkan juga kondisi rumah tinggal sebagai salah satu
dari 11 indikator.
Ukuran Multidimensi
Seperti dilansir BBC Indonesia, Kamis (11/02/2016), Setyo
Budiantoro, selaku peneliti senior Perkumpulan Prakarsa, mengatakan IKM
menghitung kemiskinan dengan memakai tiga dimensi, yakni pendidikan, kesehatan,
dan kualitas kehidupan.
Dari tiga dimensi itu terdapat 11 indikator, antara
lain gizi, akses pendidikan, kondisi tempat tinggal, lama sekolah, sanitasi,
air bersih, dan sumber penerangan. Pada dasarnya Indeks Kemiskinan Multidimensi
melihat basic needs manusia.
Setyo Budiantoro berpendapat, kemiskinan bukan sekadar
uang, tapi juga soal kapabilitas manusia yang seharusnya bisa berkembang namun
karena terkerangkeng oleh persoalan-persoalan mendasar, dia kemudian tidak bisa
mengembangkan diri.
Menurutnya, dengan menggunakan IKM, sebanyak 30% atau
sekira 75 juta penduduk Indonesia mengalami kemiskinan pada 2014. Jumlah ini
hampir tiga kali lipat dari kemiskinan versi BPS.
Seperti diketahui, BPS telah melansir data
kemiskinan per bulan September 2014 yakni 27,73 juta jiwa yang berarti sekitar
10,96 persen penduduk Indonesia secara keseluruhan.
Adanya disparitas angka kemiskinan antara data BPS dan
data lainnya menjadi sebuah diskursus. Berbagai kalangan, mulai akademisi,
politisi sampai masyarakat sendiri sering mengkritisi indikator kemiskinan BPS.
Seperti
pendapat Ekonom Hendri Saparini, yang dikutip Kompas, Edisi 2 Juli 2008, menggunakan beras sebagai
barometer pengukur angka kemiskinan merupakan penyederhanaan persoalan.
Walaupun ada program raskin (beras untuk keluarga miskin—Red) dan bantuan langsung tunai guna menutupi
kebutuhan 2.000 kalori per hari untuk konsumsi, tapi hal tersebut belum
memperhitungkan kualitas hidup masyarakat.
BPS mengakui Indeks Kemiskinan Multidimensi pernah diuji
coba. Melalui Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik, Sentot
Bangun Widoyono, BPS pernah menggunakan indikator baru tersebut namun belum
secara penuh. Hal ini tidak bisa dilakukan BPS, karena persoalan kesepakatan
nasional.
“Soal parameter kemiskinan, semua bisa berpendapat ya.
Tinggal ada kesepakatan nasional nggak? Karena kalau kita bicara minimum basic
needs kan itu juga kesepakatan nasional,” kata Sentot, mengutip BBC
Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya BPS yang telah menggunakan IKM
ini. Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program Penanganan Kawasan Kumuh
Perkotaan (P2KKP) juga menggunakan IKM untuk melakukan pemetaan warga miskin dan kawasan
kumuh walaupun hanya menggunakan 7 indikator yakni, keteraturan bangunan,
sarana sanitasi, air bersih, akses jalan, drainase, persampahan dan pencegahan
kebakaran.
Politisasi Angka Kemiskinan
Angka kemiskinan memang sering menjadi “alat politik”. Apalagi menjelang tahun politik seperti Pilpres.
Angka kemiskinan selalu di politisasi.
Angka kemiskinan yang tinggi dijadikan alat
untuk menyerang Pemerintah yang sedang berkuasa oleh partai oposisi maupun
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sebaliknya, angka-angka statistik kemiskinan yang
cenderung menurun (diluar valid atau tidak datanya), dijadikan propaganda atau “klaim”
Pemerintah berkuasa kepada rakyat dan lawan politik, bahwa program pengurangan
kemiskinan berhasil.
Konsensus Nasional
Memang dibutuhkan keberanian dari Pemerintah
menjadikan IKM ini menjadi dasar penghitungan kembali angka kemiskinan di
Indonesia. Hal ini untuk mendapatkan data kemiskinan yang berkualitas dan
valid. Diperlukan konsensus nasional menjadikan IKM sebagai indikator
kemiskinan nasional.
Dengan data kemiskinan yang berkualitas dan valid,
pemerintah bisa menyusun program kerja yang benar-benar menyentuh akar
persoalan kemiskinan dan mempersempit kesenjangan sosial di Indonesia yang
semakin melebar.
Desember 2015, Bank Dunia melansir “Gini Ratio” Indonesia naik
pesat dalam 15 tahun terakhir.(Baca: Ketimpangan Sosial di Indonesia Semakin Lebar)
Naik
dari nilai 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013. Hal ini menggambarkan
tingkat ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin di Indonesia relatif
tinggi dan naik lebih pesat, khususnya dalam hal pendapatan.
Beranikah Pemerintahan Jokowi menggunakan Indikator Kemiskinan
Multidimensi ini sebagai parameter menghitung ulang data kemiskinan di
Indonesia?
Oleh: Muhammad Ridwan
Konsultan Program Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
(P2KKP) Provinsi Lampung dan Citizen Reporter di Mediawarga.info
Tags: Indikator Kemiskinan Angka Kemiskinan
Tags: Indikator Kemiskinan Angka Kemiskinan
0 Komentar