Politik Aliran Islam di Pilkada DKI: Diakomodasi, Adopsi atau Revolusi

Unjuk Rasa Ummat Islam di Jakarta, Jum'at (14/10) menuntut diselidikinya dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. (Sumber: Okezone)
Mediawarga.info--Yang perlu kita fahami dalam mengamati politik di Indonesia maupun dimana saja di dunia adalah praktik dari politik aliran dengan masing-masing diujungnya adalah tokoh-tokoh elit (big men). Aliran ini sangat ditentukan oleh modal-modal sosialnya, yang umumnya berupa politik kedaerahan atau marga, ras, golongan, agama, alumni, dan seterusnya,  sebut saja bersifat primordialis.

Setelah aksi demo mengutuk Ahok, Jum'at kemarin (14/10) yang diikuti ribuan simpatisan dan terjadi serentak di puluhan kota di Indonesia, maka sebenarnya kita sepakat jika Ahok akan dituding sebagai penista agama-pada akhirnya terjadi. 

Terlepas bahwa ada atau tidaknya pemodal di balik demo yang cukup masif kemarin, kita hanya dapat membaca kenyataan terjadi kerisauan beberapa tokoh Tionghoa jika Ahok terus maju akan lebih banyak keburukannya bagi kelompok Tionghoa.

Semenjak Soeharto melakukan penyederhanaan politik aliran ke dalam fusi tiga partai, ia sebetulnya menyadari jika kanal-kanal politik tadi tidak akan dapat membendung aliran secara efektif. 

Lewat rentang geografis sepanjang benua Eropa, sebaran pulau-pulau lebih dari 200 bahasa daerah, agama dan kepercayaan-Indonesia tidak akan mudah diurus dengan kekerasan. 

Soeharto membaca benar kritik Mohammad Hatta terhadap politik demokrasi terpimpin Soekarno-yang Hatta sebut terlihat akur di tengah tapi membangkang di luar. Soeharto menganggap hegemoni via institusionalisasi politik aliran yang diterapkannya masih tetap membutuhkan instrument legal untuk mendukungnya. Melalui kebijakan yang kemudian kita kenal dengan kebijakan politik Suku Agama Ras Antar Golongan (SARA). Dengan kebijakan ini Soeharto mengikis kemungkinan terjadinya friksi bernuansa primordial. 

Menjelang tahun 1980-akhir, Soeharto mulai mengajak, mendorong dan meminta kekuatan ekonomi warga keturunan Tionghoa tampil dalam acara-acara televisi dan media masa. Hasilnya Liem Sio Liong menulis opini di Time Asia mendorong agar Soeharto memperkuat kelompok muda Islam.

Rekomendasi politiknya adalah munculnya kelompok studi seperti yang dimotori aktivis masjid Adi Sasono untuk mendirikan pusat-pusat kajian ekonomi dan sosial. Ini adalah tanda-tanda bahwa aliran Islam yang dulu dijinakkan Soeharto untuk masuk ke wilayah intelektual dan berkutat di civitas kampus, mulai menuntut haluan ke arah ekonomi. 

Namun, Soeharto tidak terlalu mempercayai surat Liem, tetapi ia membuka kanal baru bagi politik Islam untuk secara terbuka memiliki payung intelektual yang diakui negara selain partai yaitu dengan berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Liem sebagai pengusaha tentu faham, bahwa yang dibutuhkan kebanyakan warga keturunan Tionghoa adalah persoalan keamanan dalam usaha. Mereka tidak akan banyak menuntut lebih, mengingat sudah menjadi tabiat dari pedagang yang pragmatis adalah prekondisi aman untung berjual-beli. 

Kerisauan dari lambatnya Soeharto mengakomodir Politik Islam inilah yang ditulisnya dalam opini tadi dengan kalimat: Islamic youth; adopt or revolt, kebangkitan politik Islam diakomodasi, adopsi atau Soeharto menerima revolusi. 

Sejarah menunjukkan, Soeharto memang telat mengakomodasi politik Islam, dan reformasi 1998 yang menjatuhkannya tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan aktivis politik Islam. Tahun 1998 adalah puncak gerakan Politik Islam, kemudian menurun saat bersekutunya aliran Islam dalam fraksi Poros Tengah pimpinan Gus Dur, Amien Raies dan beberapa tokoh aktivis masjid dari Partai Keadilan.

Bila kita perhatikan aksi Ummat Islam kemarin, maka ini adalah dorongan dari politik aliran dari golongan Islam yang secara alamiah akan memaksa keluar. Kita faham bahwa gagalnya Yusril Ihza Mahendra yang dianggap representasi politik Islam untuk head to head dengan Ahok karena dikalahkan di tepian pendaftaran pemilu-meninggalkan kekecewaan.

Hanya saja, sasaran tembak bahwa Ahok adalah lawan yang harus dikalahkan tidak begitu saja pudar. Dimana sekarang arah dari politik aliran tadi ditunjukkan dengan aksi yang kita yakin akan terjadi lagi dalam waktu yang tidak lama. 

Penistaan agama yang digunakan untuk menyorong Ahok bukanlah tudingan yang main-main dan tidak akan mudah meredamnya dengan upaya apapun. Berbicara persoalan toleransi, maka urusan SARA adalah hal yang paling penting untuk tidak disinggung-singgung. 

Seperti nasihat Liem pada Seoharto untuk mengakomodasi politik Islam, maka bagi pemilih Tionghoa yang kebanyakan trader, pilihan pada Ahok mengandung persoalan dilematis sekaligus pragmatis. Mereka punya alasan besar dan alamiah untuk mengalihkannya kepada sosok lain, seperti Anies-Uno atau Agus-Sylvi. 

Oleh: Andi Hakim (Penggiat Media Sosial)

Bisa dikontak melalui : https://www.facebook.com/andihakim03 
Sumber tulisan: https://www.facebook.com/andihakim03/posts/10154529400390502 
Editor: Muhammad Ridwan

Posting Komentar

0 Komentar